Lebih 1400 tahun yang lalu Rasulullah SAW panutan kita yang mulia pernah mengigatkan kita dalam sabdanya :
“Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing, atau bahkan seperti orang yang sekedar lewat.” (HR Bukhari)
Pesannya cukup singkat tapi sarat dengan makna. Mengapa kita diminta membandingkan hidup ini dengan seorang musafir yang sedang bepergian? Marilah kita sejenak membayangkan diri kita menjadi seorang musafir. Apa kira-kira yang akan kita rasakan ketika kita sedang melakukan perjalanan menuju satu tujuan. Tentulah kita tidak merasa senang dengan keadaan safar kita, karena kita memahami bahwa kita pergi hanya sementara, apa yang menyertai kita dalam perjalanan semuanya akan kita tinggalkan, misalnya teman seperjalanan, tempat-tempat yang kita singgahi, harta yang kita bawa semuanya akan habis dan meninggalkan kita satu persatu. Selain itu mengapa kita tidak suka dengan perjalanan kita, karena kita merindukan berkumpul kembali dengan keluarga di tempat asal kita. Jakarta adalah kota perantauan, banyak diantara warga yang tinggal di Jakarta adalah orang perantauan yang hanya sekedar mencari rizki di ibu kota. Mereka rela tinggal dikamar kost yang kecil, padat dan kumuh asal dapat mengirim uang ke sanak family di kampung halaman.
Banyak di antara warga Jakarta yang tidak memiliki rumah tetap di Jakarta asal dapat membangun rumah yang megah di daerah asal. Seperti itulah laiknya seorang muslim memandang kehidupan. Tak lebih dari sekedar menjalani kehidupan bak seorang musafir yang meyakini kelak harus pulang ke kampung halamannya. Mengapa demikian sebab asal dari semua manusia adalah dari surga. Ya kampung halaman kita adalah di surga, sebagaimana asal dari nenek moyang kita Nabi Adam As dan Ibunda Hawa yang tinggal disurga sebelum dibujuk dan dirayu oleh Iblis laknatullah alaih hingga akhirnya diturunkan oleh Allah ke dunia.
Kita hidup di dunia benar-benar sebagai seorang musafir yang kelak akan pulang ke tempat asal kita di surga. Akan tetapi Iblis dan syetan anakbuahnya tidak rela membiarkan kita kembali pulang ke rumah kita. Mereka berusaha sekuat tenaga untuk menyesatkan kita hingga kita tersesat dan tidak tahu jalan pulang ke rumah. Itulah sumpah Iblis sebagaiman di jelaskan oleh Allah:
“Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma’siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya. kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka.” (QS. Al Hijr: 39-40)
Oleh karena itu banyak manusia yang tertipu oleh Iblis dan syetan. Mereka lupa bahwa mereka ada di dunia hanyalah sementara. Mereka benar-benar lupa. Mengapa dikatakan lupa? Orang lupa bukanlah orang yang tidak mengerti. Mayoritas mereka ketika ditanya tentang akhirat mereka pasti tahu. Tetapi karena tipu daya iblis dan syetan akhirnya mereka terlena dengan asyiknya hidup di dunia. Dunia seakan segala-galanya. Mereka rela berperang, saling bermusuhan, saling intrik dan adu siasat hanya gara-gara urusan dunia. Inilah tipuan iblis dan syetan yang benar-benar nyata.
Agar kita tidak tertipu oleh manis urusan dunia ada baiknya kita renungkan nasihat bijak dari khalifah ke dua Amirul Mukminin Umar ibnu Khatthab:
”Letakkan kehidupan dunia itu dalam gengaman tangan anda, jangan letakkan dunia didalam hati anda.”
Bagaimana bila kita meletakkan “sesuatu” itu ditangan kita? Bisakah “sesuatu” itu kita lemparkan menjauh dari kita? Bisakah “sesuatu” itu kita masukan ke dalam saku kita? Tentu jawabannya adalah bisa. Mengapa? Karena sesuatu itu ada di tangan kita pastilah ada di dalam kendali kita mau kita apakan saja bisa. Kita tinggalkan bisa, kita lempar bisa, kita berikan ke seseorang juga bisa. Sebab semuanya masih ada dalam kendali kita. Hal ini akan lain bila “sesuatu” itu ada dalam “hati” kita. Sebab sesautu yang sudah melekat di dalam hati akan sulit kita lepaskan. Dan bila kita lepaskan, maka biasanya akan terasa sakit. Oleh karena itu nasihat sang khalifah ini benar-benar bijak. Letakkan dunia ini hanya sebatas di dalam genggaman tangan saja. Jangan sampai masuk ke hati. Iblis dan setan berusaha merayu kita untuk meletakkan dunia itu tidak hanya di dalam genggaman tangan tetapi sampai masuk ke hati.
Khalifah Umar inbu Khatthab benar. Mengapa dunia cukup hanya kita letakkan di dalam genggaman dan tidak dalam hati. Sebab nilai dunia bila dibandingkan dengan nikmat akhirat adalah tiada bandingnya. Perhatikanlah sabda Rasulullah SAW tentang nilai dunia:
“Tidaklah dunia bila dibandingkan dengan akhirat kecuali hanya semisal salah seorang dari kalian memasukkan sebuah jarinya ke dalam lautan,maka hendaklah ia melihat apa yang dibawa oleh jari tersebut ketika diangkat? (HR Muslim)
Pertanyaannya seberapakah banyak air yang mampu kita angkat dengan jari kita? Setetes, dua tetes, atau baling banyak tiga tetes. Itulah nikmat dunia bila dibandingkan dengan nikmat akhirat. Lantas seberapakah nikmat akhirat itu? Nikmat akhirat itu adalah air sebanyak lautan itu sendiri. Luar biasa, itulah kata yang pantas kita ucapkan. Sebab bila kita mau bersabar sedikit dikehidupan dunia ini tentulah kita akan termasuk orang-orang yang beruntung. Bagaimana tidak beruntung? perniagaan mana yang bisa mendatangkan keuntungan seperti ini? Hanya modal setetes, dua tetes mendapatka seluruh air dilautan. Sungguh perniagaan yang menguntungkan. Alangkah ringannya hanya dengan meletakkan dunia di dalam genggaman, kita akan mendapatkan keuntungan perniagaan yang sangat besar.
Bila paragraf di atas bercerita tentang perbedaan “kualitas nikmat” dunia dan akhirat. Maka marilah kita renungkan pula perbandingan dari segi “waktu” antara kehidupan dunia dan akhirat. Lamakah perantauan ini? Marilah kita berhitung. Manusia zaman ini hidup dengan umur rata-rata 70 tahun, Rasulullah Muhammad SAW berumur hingga 63 tahun. Apakah ini termasuk masa yang lama? Dalam Al Quran Allah bertanya:
“Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?” Mereka menjawab: “Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada (malaikat) yang menghitung. Allah berfirman: “Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui (QS Al Mu’minuun : 112-114)
Dari ayat di atas ada sesuatu yang menarik yang perlu kita cermati. Allah bertanya kepada manusia berapa tahun? Tetapi jawaban manusia ternyata sehari atau setengah hari. Apakah ada yang salah dalam teks Al Quran yang mulia tersaebut? Ternyata tidak . Allah bertanya berapa tahun dan manusia menjawab sehari atau setengah hari ini menunjukan adanya perbedaan perhitungan waktu antara dunia dan akhirat. Hitungan tahunan dalam sekala kehidupan dunia setara dengan hitungan hari di akhirat. Dari sini kita tahu bahwa ternyata waktu kita hidup di dunia bila dibandingkan dengan bentangan waktu di akhirat sungguh tidaklah setara. Bila kita simak ayat-ayat berikut tentu kita akan lebih mengetahui betapa waktu dunia tidaklah berarti bila dibadingkan perhitungan-perhitungan waktu di akhirat:
“Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari (QS An Naazi’aat : 46)
“Dan (ingatlah) akan hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka,(mereka merasa di hari itu) seakan-akan mereka tidak pernah berdiam (di dunia)hanya sesaat di siang hari, (di waktu itu) mereka saling berkenalan. Sesungguhnya rugilah orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan Allah dan mereka tidak mendapat petunjuk (QS Yunus [10] : 45)
Allah berkuasa atas waktu, di akhirat waktu benar-benar tidak setara dengan perbandingan waktu di dunia. Hal ini memberi pelajaran bagi kita bahwa perantauan kita ini benar-benar singkat. Sehingga Rasulullah tidaklah salah bila menambahi di akhir hadit dengan kata-kata “atau bahkan seperti orang yang sekedar lewat.”
Baiklah kita lebih mengerucut lagi, bila waktu diakhirat sangat tak terbatas, marilah kita hitung perbandingan rata-rata umur manusia di dunia dengan perbandingan lama penantian kita di padang masyhar saja. Rasulullah SAW bersabda:
“Bagaimana keadaan kalian jika Allah mengumpulkan kalian di suatu tempat , seperti berkumpulnya anak-anak panah di dalam wadahnya selama 50.000 tahun dan Dia tidak menaruh kepedulian terhadap kalian?” (HR Hakim dan Thabrani)
Maka perantauan kita di dunia bila dibandingkan dengan lamanya kita menunggu di padang masyar untuk dikhisab hanyalah terasa selama : 2 menit 1 detik. Sungguh benar apa yang disampaikan Rasulullah hidup senilai 2 menit 1 detik bila dibandingkan dengan waktu di padang masyar, bak air setetes dibandingkan air seluruh lautan.
Maka untuk wahai saudaraku sungguh jangan sampai kita terlena dengan kehidupan dunia. Karena hidup bagai perantauan seorang musafir yang hanya berlalu sekejab saja dan kita akan pulang ke kampung halama kita selama-lamanya. Letakkan dunia hanya di dalam genggaman saja sebab bila dalam hati kita akan sulit melepaskannya dan kitapun akan kehilangan kesempatan pulang ke rumah kita di surga selama-lamanya. Janganlah kita termasuk orang-orang yang merugi sebab kita tidak tahu kapan ajal kita tiba.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati .”(QS al Anbiya [21] : 35)
Dan bila ajal itu telah tiba, maka tak dapat seorangpun mengundurnya:
“Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukan(nya).” (QS Yunus : 49)
Yaa Allah saksikan bahwa aku telah menyapaikan
Wallahu A’lam bish Showab [win]
Sumber :
http://mutabanatpress.blogspot.co.id/2011/03/hidup-kita-ini-sebenarnya-kurang-lebih.html
Gambar :
https://i.ytimg.com/vi/97GFujVTk4k/maxresdefault.jpg